Selasa, 15 Januari 2013

INDONESIA MERDEKA, Belum Jaya dan Berdaulat di Laut

 http://indomaritimeinstitute.org/wp-content/uploads/2011/09/OCEAN.jpg 
SETELAH 66 tahun merdeka Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari “penjajahan”. Kemerdekaan masih tergadaikan. Pengelolaan ekonomi masih dikuasai negara asing, kelompok dan ideologi yang berkepentingan. Tak terkecuali potensi laut Indonesia yang begitu besar. Pemerintah tak berdaya mengaturnya.
Melihat luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2, terdiri dari 0,3 juta km2 perairan teritorial, 2,8 juta km2 perairan pedalaman dan kepulauan, 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), dikelilingi lebih 17.500 pulau, dengan panjang pantai 95.181 kilometer, ini semua adalah sumber kekayaan yang luar biasa.
Namun, di usianya yang lebih dari setengah abad, Indonesia masih negara berkembang dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan tinggi, GNP per kapita kecil (2.300 dolar AS), serta daya saing ekonomi rendah. Bahkan, The United Nations Development Programme (UNDP) menempatkan Indonesia di peringkat 108 untuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Padahal, potensi ekonomi kelautan Indonesia diperkirakan mencapai Rp 7.200 triliun per tahun atau enam kali lipat dari APBN 2011 (Rp 1.299 triliun) dan satu setengah kali PDB saat ini (Rp 5.000 triliun). Lapangan kerja yang akan tercipta lebih dari 30 juta orang.
Jika semua potensi tersebut dimanfaatkan dengan benar tanpa dirongrong pihak-pihak tertentu, rakyat Indonesia akan merdeka dalam arti sebenarnya. Indonesia tidak lagi menjadi bangsa budak, yang menjadi pembantu di negeri orang dan kuli di negeri sendiri.
Untuk itu, pemerintah harus segera mengubah paradigma pembangunan agar lebih berpihak pada rakyat dan bangsa. Apalagi potensi laut Indonsia bisa menggerakkan roda perekonomian nasional. Mulai dari sektor perikanan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, perhubungan laut, sumber daya pulau-pulau kecil, industri sampai dengan jasa maritim.
Ke depan ekonomi kelautan akan semakin strategis seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari Atlantik ke Asia-Pasifik. Hal ini terlihat 70 persen perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Di mana 75 persen produk dan komoditas yang diperdagangkan dikirim melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar 1.300 triliun dolar AS per tahun.
Mengenai sumber pertambangan dan energi, 70 persen minyak dan gas bumi diproduksi di kawasan pesisir dan laut. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung migas, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya 6 di daratan. Potensi cekungan-cekungan tersebut diperkirakan sebesar 11,3 miliar barel minyak bumi. Sementara gas bumi tercadang sekitar 101,7 triliun kaki kubik.
Di lepas pantai Barat Sumatera, Jawa Barat bagian selatan dan bagian utara Selat Makassar telah ditemukan pula jenis energi baru pengganti BBM, berupa gas hidrat dan gas biogenik  dengan potensi melebihi seluruh potensi migas.
Namun pertanyaan besar muncul, siapa yang menguasai kekayaan tambang dan energi bangsa ini? Lagi-lagi jawabannya adalah perusahaan asing yang merupakan kepanjangan tangan dari negara-negara yang berkepentingan. Indonesia menjadi grand strategy bagi negara yang lebih maju.

Sejarah Perjalanan Bangsa
Negara Indonesia kehilangan jati diri sebagai negara maritim akibat penjajahan panjang Belanda selama 350 tahun. Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia kehilangan infrastruktur, budaya, politik dan visi ekonomi. Bangsa Indonesia kembali lahir dari titik nol. Padahal Indonesia pernah berjaya di era kebesaran Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Momen Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, telah menyatukan kembali generasi muda Indonesia dalam satu wadah wilayah nusantara. Indonesia pun memproklamasikan kemerdekaaan pada 17 Agustus 1945, dan mendapat pengakuan kedaulatan dari badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1949.
Sejak itu babak baru kehidupan bangsa dimulai dengan terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fondasi dan prasarana kehidupan mulai diletakkan. Ibarat jabang bayi yang baru lahir, belajar tengkurap, merangkak, dan berjalan tertatih-tatih, kemudian tumbuh menjadi bocah, remaja dan dewasa.
Perkembangan ekonomi Indonesia sendiri terbagi dalam tiga fase. Fase pertama (1945-1949) adalah era perang kemerdekaan. Praktis tak ada agenda pembangunan yang dilaksanakan. Di samping belum ada sumber-sumber pembiayaan domestik, belum bisa mengharapkan negara sahabat karena Indonesia baru menjadi anggota PBB pada 1949. Lagi pula bantuan negara maju terhadap negara berkembang baru menonjol di era 1960-an.
Fase kedua (1949-1959) sistem demokrasi parlementer. Selama itu terjadi delapan kali pergantian kabinet sehingga agenda pembangunan tidak berkesinambungan. Ekonomi hanya mampu tumbuh sekitar dua persen per tahun.
Fase ketiga (1959-1969) disebut era demokrasi terpimpin. Di mana peran Bung Karno sangat dominan dan kemudian disebut sebagai Orde Lama. Pada masa itu terjadi krisis ekonomi dan politik. Terjadi peristiwa berdarah dengan terbunuhnya sejumlah jenderal. Kondisi ini mendorong Soekarno lengser dari jabatannya.
Fase keempat (1969-1994), era orde baru. Di bawah kendali Soeharto, Indonesia mulai membangun. Namun orientasi pembangunannya agraris. Dalam PJP (Pembangunan Jangka Panjang), pembangunan direncanakan selama 25 tahun, dan dibagi dalam lima repelita (5 tahun).  Pada Repelita I, Indonesia mendapat dua sumber pembiayaan yang melimpah, yakni pinjaman luar negeri dan “durian runtuh” harga minyak mentah yang naik sepanjang 1970-an.
Ekonomi yang tumbuh rata-rata di atas tujuh persen membuat Indonesia pernah tercatat sebagai salah satu keajaiban ekonomi dunia. Prestasi ekonomi monumental antara lain pembangunan infrastruktur, jumlah penduduk miskin berkurang dari 50 menjadi 17 persen, dan pendapatan per kapita naik dari 100 menjadi 1.400 dolar AS.
Di seluruh pelosok daerah terdapat pendidikan dasar dan pusat pelayanan kesehatan. Produksi pangan, sandang dan papan berhasil swasembada. Bahkan, Indonesia menjadi salah satu negara eksportir garmen yang terkenal.
Puncak keberhasilan memasuki era tinggal landas ditandai dengan terbang perdana pesawat CN-250 pada 10 Agustus 1995. Pesawat bermesin dua dengan kapasitas 50 orang itu merupakan hasil karya insinyur Indonesia. Saat menyaksikan secara langsung bangsa Indonesia bangga dan bernapas lega roda pesawat meninggalkan landasan dengan selamat.
Pada 1994/95 Indonesia mulai memasuki PJP Kedua dengan Repelita VI. Sayang di tahun ketiga terjadi krisis moneter 1997. Krisis tersebut dimanfaatkan kaum akademisi dan penggiat demokrasi sebagai momentum menurunkan Soeharto. Sadar atas keinginan itu Soeharto pun lengser dan menyerahkan mandat kepada wakilnya BJ Habibie.
Aspirasi penggiat demokrasi dengan melaksanakan pemilu dini (1999), membuka kebebasan berpendapat. Tokoh-tokoh seperti Amien Rais, Gus Dur dan Megawati pun naik menjadi tokoh. Sejumlah figur Orba seperti Akbar Tanjung masih ikut mewarnai era reformasi. Begitu juga Ginandjar yang masih ikut mengubah UUD 1945.
Kerinduan pada demokrasi membuat reformasi bangsa Indonesia menuju kutub ekstrem, demokrasi yang kebablasan. Jauh lebih luas dan mendalam dibanding demokrasi barat. Mulai dari tingkat kepala desa hingga presiden dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat. Konsekuensinya jelas, ongkos demokrasi sangat besar, mulai dari ancaman pergesekan horizontal hingga disintegrasi bangsa.
Dalam demokrasi suara orang pintar dan orang idiot sama. Karena sebagian besar bangsa Indonesia masih baru melek huruf, maka kebanyakan wakil dan pemimpin hasil pilihan rakyat tak mampu berbuat lebih baik dari Orba. Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota dan sampai Kepala Desa hampir setiap hari menyerukan agar rakyat membuat dan menjaga keadaan supaya tetap kondusif. Makna kestabilan dan keamanan terasa makin sangat berharga, tetapi kian sulit diciptakan.
Pembangunan infrastruktur terhenti, bahkan semakin tak terawat. Sekolah-sekolah Inpres yang dibangun peninggalan masa lalu rusak berat. Jumlah pengangguran terus bertambah dan penduduk miskin tidak bisa dientaskan. Demokrasi ternyata bukan jaminan kemerdekaan ekonomi. Karena itu orang merindukan keberhasilan nation building Soekarno dan pembangunan ekonomi Soeharto. Rakyat kian tak sabar melihat kemajuan yang melambat sementara bangsa lain makin maju.
Kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlama-lama. Indonesia harus kembali ketitahnya sebagai negara kepulauan. Membangun persepsi dan visi masa depan cemerlang sebagai negara maritim. Demokrasi harus dijadikan modal melepaskan diri dari belenggu masa lalu dan euforia realita masa kini.

Percepatan Pertumbuhan Ekonomi
Sebuah teori mengatakan bahwa sistem demokrasi di negara dengan penghasilan per kapita rendah di bawah 6.600 purchasing power parity (PPP) dolar AS rawan terhadap kegagalan. Negara-negara dengan pendapatan perkapita 1.500 dolar AS, mempunyai harapan hidup hanya 8 tahun. Negara dengan tingkat penghasilan per kapita 1500-3000 dolar AS, demokrasi negara tersebut hanya dapat bertahan 18 tahun. Pada penghasilan per kapita di atas 6.000 dolar AS, daya hidup demokrasi 1/500.
Maka itu Indonesia harus segera meninggalkan daerah penuh resiko tersebut. Pada saat ini Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada 2010 mencapai 3.004,9 dolar AS atau Rp 27 juta, yang berarti meningkat sebesar 13% dibandingkan dengan PDB per kapita 2009 sebesar Rp23,9 juta atau 2.349,6 AS.
Masterplan Percepatan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan upaya untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Melalui langkah MP3EI, percepatan dan perluasan pembangunan akan menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada 2025 dengan pendapatan per kapita 14.250-15.500 dolar AS dengan nilai total perekonomian (PDB) antara 4,0-4,5 triliun dolar AS. Untuk mewujudkannya diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4-7,5 persen pada periode 2011-2014, dan sekitar 8,0-9,0 persen pada periode 2015-2025.
Pertumbuhan ekonomi tersebut harus dibarengi penurunan inflasi sebesar 6,5 persen pada periode 2011-2014 menjadi 3,0 persen pada 2025. Model kombinasi pertumbuhan dan inflasi ini mencerminkan karakteristik menuju negara maju.
Jika itu berjalan, pertumbuhan PDB akan mengalami perbaikan, yaitu dari 4,5 persen pada 2009 menjadi 6,1 persen pada 2010, dan pada 2011 diharapkan mencapai 6,4 persen. Untuk menjadikan Indonesia sebagai high income country dengan pendapatan per kapita mencapai 14.900 dolar AS pada 2025 diperlukan pertumbuhan ekonomi tinggi, inklusif, berkualitas, dan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia harus berada antara 7,5-9 persen per tahun.
MP3EI menjadi pijakan awal menuangkan komitmen bersama antara pemerintah dan dunia usaha dalam mewujudkan transformasi ekonomi nasional. Upaya ini diharapkan bisa mempercepat kebangkitan ekonomi serta meningkatkan daya saing perekonomian nasional di tingkat regional dan global yang semakin kompetitif. Pertanyaan yang timbul, sejauh mana upaya ini memaksimalkan potensi ekonomi maritim Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar