Selasa, 15 Januari 2013

Hari Nusantara ke-53: Akankah Indonesia Negara Maritim?


 http://indomaritimeinstitute.org/wp-content/uploads/2011/01/3418068492_0c3961a957_b.jpg
Teori Mahan tersebut telah membuktikan bahwa bukan jumlah penduduk semata-mata yang membuat suatu bangsa berjaya, melainkan jumlah penduduk yang berorientasi ke laut dan yang ditopang oleh pemerintah yang memperhatikan dunia Baharinya.
Lantas, apakah benar sekarang ini Indonesia yang notabene memiliki wilayah laut yang lebih luas dari daratan merupakan negara maritim? Seberapa besar penduduk Indonesia berorientasi ke laut? Sejauhmana bangsa ini memiliki geographical awerenes ? Sejauh mana bangsa ini memiliki pemimpin yang memilki Ocean Leadership yang cerdas dan berwawasan global? Semua pertanyaan itu menunjukkan keraguan banyak kalangan bahwa bangsa ini adalah negara maritim.
Sangat ironis memang men­dengar pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pasalnya, bangsa Ini sebenarnya sudah terlahir sebagai bangsa Maritim, di mana nusantara seharusnya dimengerti akan maknanya sebagai bangsa bahari.  Apalagi, tidak jarang pula kita mendengar slogan-slogan yang menyebut Indonesia adalah “Negara kepulauan”, Indonesia adalah “Negara Bahari”, Indonesia adalah “Negara Maritim” dan Indonesia ”Berjiwa Bahari” serta “Nenek Moyangku Orang Pelaut.” Tak ayal, slogan itu  tidak ubahnya seperti lips services dari anak anak hingga orang dewasa.
Padahal, kejayaan Indonesia sebagai bangsa maritim sudah tidak diragukan lagi. Bahkan, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Lakdya TNI Soeparno menyebutkan bahwa kejayaan maritim bangsa ini pernah ditunjukkan oleh kerajaan-kerajaan di masa lalu. “Seperti Sriwijaya dan Majapahit yang pernah mengalami kejayaannya hingga kekuasaan mereka diakui di kawasan regional,” ujarnya.
Menurut Soeparno, penguasaan wilayah-wilayah penghasil rempah-rempah pada masa itu merupakan suatu keunggulan strategis yang menunjang kehidupan rakyat. “Dengan ketangguhan armada laut yang demikian disegani, sehingga Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit berhasil menjamin keamanan pengangkutan hasil-hasil perdagangan mereka sehingga sampai ke tempat tujuan dengan selamat,” terangnya.
Sependapat dengan Soeparno, pakar hukum laut internasional, Dimyati Hartono menuturkan, jaman Sriwijaya dan Majapahit sudah memiliki kemampuan besar untuk menguasai laut, baik di wilayah nasional maupun mengarungi samudra yang luas. “Itu bukti bahwa sebenarnya jiwa bahari bangsa Indonesia sudah dimiliki,” ungkapnya.
Hanya saja, cetus Dimyati, ketika Belanda menancapkan kakinya di Indonesia, pandangan bangsa ini berubah, sehingga berkembang pemikiran bahwa Indonesia adalah negara agraris.
“Pemikiran ini berkaitan erat dengan kepentingan Belanda/Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk memegang monopoli perdagangan rempah-rempah dan produk pertanian, sehingga di Indonesia dilahirkan Cultuure Stelsel,” bebernya.
Dikatakan Dimyati, sebenarnya pada jaman pemerintahan Soekarno, pernah dicanangkan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dan selalu disebut-sebut pernah menjadi sebuah negara maritim yang punya sejarah menakjubkan. “Tetapi belum pernah disusun dalam sebuah konsepsi pembangunan khusus tentang pemanfaatan laut,” jelas Dimyati.
Pengamat Kelautan dari Universitas Diponegoro (Undip), Sahala Hutabarat mengaku punya pendapat sendiri soal sejarah Indonesia sebagai Negara Maritim. menurutnya, ada dua kemungkinan jika ditanya terkait hal itu, yakni Indonesia merupakan negara maritim peninggalan  negara Belanda dan bisa juga atas perjuangan tokoh-tokoh nasional.
“Indonesia merdeka tahun 1945, dan dalam kemerdekaan itu Indopnesia merupakan NKRI dengan seluruh wilayahnya. Dan di Deklarasi Djuanda Indonesia sendiri merupakan negara wilayah yang 2/3-nya merupakan laut, dan dari Deklrasi tersebut lahirlah yang namanya wawasan nusantara, di mana jelas bahwa diatur baik batas lautnya maupun garis pantainya,” kata Sahala kepada Indonesia Maritime Magazine.
Namun pada kenyataanya, kata Sahala, saat ini semua seolah-olah dilupakan begitu saja, mengenai visi pemerintahan sendiri tidak begitu baik, karena untuk mengembangkan negara maritim itu jelas terlihat tidak serius. Dia mencontohkan anggaran untuk membangun negara maritim tentunya kalau dilihat anggaran saat ini sangatlah kecil.
“Mengarah kepada pembangunan keluatan tentunya sangat kurang, untuk anggarannya saja hanya 0,3 persen dari anggaran APBN, dan ini bukan ditonjolkan di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saja, ada empat intitusi yang memang berkaitan besar dengan kemaritiman,” tegasnya.
Sahala menilai, sebagai negara yang mempunyai laut besar, sangat disayangkan jika anggaran yang diposkan sangat kecil. Meskipun tidak menampik anggaran untuk pendidikan besar, tapi seharusnya anggaran untuk dunia maritim juga harus menjadi prioritas utama.
“Tidak hanya sumberdaya alamnya saja, melainkan kemanananya juga harus dijaga, lingkunganya, sosialpolitiknya, dan itu semua tentunya jika dikaitkan dengan anggaran saat ini jelas sangat minim sekali,” kata Sahala.
Ditanya mengenai program pemerintah untuk membangun negara maritim yang kuat, Sahala mengatakan pemerintah belum maksimal, karena memang terlihat dari anggaran yang diposkan untuk ke arah tersebut masih sangat kecil, padahal dari FPJMM sudah terlihat di mana daerah pesisir disinggung, namun porsinya belum signifikan.
“Dengan anggaran yang kecil bisa menjadi ancaman hilangnya pulau-pulau yang terluar, masih ingat hilangnya  Pulau Ligitan dan Sipadan disebabkan bukan karena sejarah, melainkan karena memang tidak ada perhatian dari pemerintah, karena memang pulau tersebut tidak dirawat,” akunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar