Kita
semua pasti sudah paham, kalau sekitar dua dari tiga luas Indonesia
adalah perairan. Berada pada iklim tropis, pertemuan dua lempeng besar,
dan pergerakan arus laut yang melewati Indonesia, menjadi tidak ada
keraguan bahwa berjuta potensi sumber daya dan keindahan terdapat di
dalamnya.
Hanya
mereka yang kesehariannya bergelut dengan kelautan saja yang memahami
kondisi di atas. Orang awam hanya pernah mendengar berita banyak kapal
tenggelam, gelombang tinggi atau ikan yang dicuri nelayan asing.
Indonesia memiliki laut yang luas. Kebanyakan orang hanya mengetahui
sebatas kalimat tersebut. Di lain sisi, laut pun belum mampu untuk
memberikan sumbangsih yang cukup berarti bagi persoalan bangsa Indonesia
ini.
Jika kita di bolehkan mengintip ke belakang dengan bijak, tentunya kita tidak lupa dengan kalimat yang mengatakan bahwa "Indonesia Adalah Negara Agraris".
Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar pun, saya sudah diberitakan tentang
Indonesia yang Agraris. Mengapa disebut demikian, saya pikir banyak
alasannya. Dulu mayoritas penduduk Indonesia adalah bekerja sebagai
petani. Sebagian besar tata guna lahan pun dijadikan untuk pertanian
atau perkebunan. Hebatnya lagi, swasembada beras pun pernah dicapai
bangsa ini puluhan tahun silam.
Ternyata
dibalik kehebatan itu terdapat kenyataan yang cukup menyakitkan.
Program revolusi hijau yang digalakkan pemerintah kala itu mengabaikan
ketimpangan kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian. Banyak kebijakan
pemerintah yang tidak pro pada sektor pertanian, salah satunya dengan
mengkonversi lahan pertanian menjadi daerah industri, pelebaran jalan,
pembuatan perumahan dan real estate, lapangan golf, pembangunan DAM,
serta sektor non pertanian lainnya.
Sementara
saat ini, Indonesia tidak lagi mampu berswasembada beras, petani pun
merana terkena imbas dari mahalnya pupuk. Ironisnya, pemerintah lebih
memilih impor karena harga yang lebih murah. Harga kebutuhan pokok
berbasis pertanian sudah didikte oleh dunia Internasional, ketika harga
kedelai dunia naik, Indonesia pun tak mampu menahan kenaikan harga di
dalam negeri. Lepas dari itu semua, ternyata kelaparan dan kekurangan
gizi merebak dipelosok Indonesia ini. Lalu, masih pantaskah Indonesia dikatakan sebagai Negara Agraris ?
Kembali
ke persoalan laut di Indonesia. Walaupun banyak yang belum mengetahui
begitu besarnya potensi laut yang ada, tidak bisa dipungkiri potensi itu
memang ada. Dari bibir pantai hingga laut yang paling dalam sekalipun
banyak potensi yang dapat dikeruk. Bahkan dengan ikan saja sebenarnya
Indonesia mampu hidup, bermodalkan gas dan batubara dari laut saja
Indonesia tidak perlu berhutang lagi. Namun kenyatannya, laut kita
memang belum terasa kiprahnya.
Dalam
beberapa hal, potensi kelautan memang lebih besar dibanding pertanian
Indonesia. Tidak hanya karena luas, tapi juga keanekaragaman potensinya.
Saat ini kelautan Indonesia belum terlihat taringnya, tapi mereka sudah
mulai dan sedang unjuk gigi. Satu hal yang saya rasakan adalah semangat
dan mimpi-mimpi dari kawan - kawan akan kejayaan laut Indonesia akan
datang.
Dari sini saya berpikir sah-sah saja jika kita menyebut "Indonesia Sebagai Negara Bahari".
Toh, sebelumnya kita juga sering mendengar bahwa "nenek moyangku
seorang pelaut". Dengan slogan sekali layar terkembang pantang pulang
sebelum mendapatkan keuntungan. Bahkan civitas kelautan yang pernah
mendidik saya pun sudah menanamkan pada diri ini bahwa Indonesia adalah
negeri bahari.
Lantas bagaimana dengan Agraris?
Tidaklah saya berani mengatakan Indonesia bukan Negara Agraris lagi.
Kecuali jika saya kemarin mahasiswa di bidang pertanian, akan saya katakan bahwa Indonesia masih Agraris. He he hee
Tidak ada komentar:
Posting Komentar