Tak mudah mengubah pandangan orang terhadap perempuan yang meniti karier di bidang yang biasanya sangat “lelaki”. Anggapan miring pun bisa muncul, mulai dari melabrak kodrat, mengancam kelanggengan keluarga, dan berbulan-bulan bergelut dengan awak kapal yang hampir bahkan semuanya adalah kaum Adam. Kalau meminjam istilah pelayaran, lelaki selalu di haluan, perempuan berkecenderungan di buritan.
Namun
Entin Kartini memecah mitos itu. Perempuan juga bisa di haluan: maju
meninggalkan buritan. Kendati tak menampik anggapan umum masyarakat, ibu
tiga orang anak yang sudah menjadi nakhoda puluhan tahun itu tak
terlalu mempersoalkannya. Suaminya bilang, sayang kalau pendidikan tidak
dituntaskan. Yang paling mengerti niatnya meneruskan cita-cita hanya
keluarga. Toh kini Entin bisa berbahagia bersama keluarga, tapi juga
bisa mewujudkan impiannya. Jejaknya berawal ketika lulus Akademi Ilmu
Pelayaran (AIP)—yang kini dikenal sebagai Sekolah Tinggi Ilmu
Pelayaran(STIP)—pada 1970.
Kerja sebagai nakhoda pun dimulai. Meski
sempat terhambat, karena menikah dan kemudian mengandung, itu tak
membuatnya berhenti berharap. Pekerjaan yang ditekuninya tak hanya harus
menguasai teori tetapi juga mahir berpraktek, tak lain di lautan. Tak
serta merta selesai pendidikan lalu didaku sebagai nakhoda. Itu baru
fase lulus tahap MPB (Mualim Pelayaran Besar) IV. Supaya afdol, ditambah
dua tahun berlayar untuk mendapatkan sertifikat MPB II. Nah, baru
dibilang seorang nakhoda jika sudah melewati dua tahun pelayaran untuk
memeroleh MPB I atau setingkat strata 2.
Dia bersyukur. Selain dia, ada seorang perempuan lagi yang berhasil
lulus seangkatan. Tapi yang meneruskan karier sebagai pelaut hanya
Entin. Rekannya kemudian beralih profesi di sebuah perusahaan minyak
nasional. Lalu bagaimana bukan sebuah kebanggaan, setelah angkatan dia,
Akademi Maritim Indonesia (AMI) Jakarta yang kini beralih nama menjadi
Sekolah Tinggi Maritim Indonesia (STMI) itu sempat tak menerima taruna
perempuan untuk jurusan nautika yang diarahkan sebagai
nakhoda. Akhirnya, hanya Entin seorang yang tangguh menempuh pengalaman
di dunia pelayaran. Bukan kebanggaan besar jika setiap pelayar pernah
Mandi Khatulistiwa, kala menyeberangi wilayah garis khatulistiwa lintang
nol derajat yang diambil dari tradisi Yunani itu, seraya menumbuhkan
semangat bahari. Bukan pula karena ia harus menyadari betapa sulitnya
rintangan dan risiko yang mesti dihadapi di laut. Keunggulan Entin ada
pada niatnya. Setelah lulus AIP, di kapal Tampomas, dia menjadi mualim
tiga termuda. Lebih khusus lagi: mualim perempuan termuda. Mulai dari
kapal barang kecil, beralih ke kapal barang besar, hingga akhirnya
diperkenankan membawa kapal besar. “Nggak ujuk-ujuk bisa…” katanya
dengan logat Sunda yang kental.
Tak hanya mampu membuang sauh di kepulauan Nusantara, Entin juga pernah
dipercayakan membawa kapal penumpang kesepuluh yang dipesan pemerintah
Indonesia dari galangan kapal L Meyer, Papenburg, Jerman. Itu peluang
emas. Ceritanya sekitar 1989, dia diposisikan di bagian personalis PT
Pelni. Sesekali jika ada nakhoda berhalangan, Entin yang menggantikan.
Saat bertemu Habibie, Menristek saat itu, dia ditanya, “Kamu masih bisa
bawa kapal, siap bawa kapal kesepuluh dari Jerman?” Entin
mengiyakan. Kapal yang dimaksud ialah KM Awu, kapal bertipe penumpang.
Meski KM Awu bukan satu-satunya pesanan Indonesia dari Jerman, tapi itu
bersejarah bagi Entin sebagai mualimnya. Bahkan sebelum KM Awu selesai
dirakit, dia sudah melepaskan jangkar kapal selama enam bulan. Saat
Habibie menawarinya dan Azwar Anas selaku Menhub saat itu
mengizinkannya, Entin menghargainya sebagai “tugas khusus” bukan
“pengganti”.
Dikepung Lelaki
Menjadi nakhoda mulanya bukan cita-cita Entin. Saat masuk AIP yang dikepung oleh dominasi lelaki, Entin punya sebuah alasan: mencari pekerjaan ikatan dinas yang tak komersil. Kemampuan keluarga yang tak memungkinkan memupuskan harapannya menjadi seorang dokter. Hatinya semakin kepincut dengan API saat dia membaca majalah Aneka Amerika. Ada foto-foto taruna AIP yang gagah-gagah, katanya dalam hati. saat masuk pada 1966, Entin adalah salah seorang dari sembilan perempuan yang masuk akademi tersebut. Sembilan dari 144 taruna, mereka benar-benar istimewa sebagai calon pelayar. Bahkan untuk bidang studi nautika, angkatannya menjadi angkatan pertama yang menerima taruna perempuan.
Menjadi nakhoda mulanya bukan cita-cita Entin. Saat masuk AIP yang dikepung oleh dominasi lelaki, Entin punya sebuah alasan: mencari pekerjaan ikatan dinas yang tak komersil. Kemampuan keluarga yang tak memungkinkan memupuskan harapannya menjadi seorang dokter. Hatinya semakin kepincut dengan API saat dia membaca majalah Aneka Amerika. Ada foto-foto taruna AIP yang gagah-gagah, katanya dalam hati. saat masuk pada 1966, Entin adalah salah seorang dari sembilan perempuan yang masuk akademi tersebut. Sembilan dari 144 taruna, mereka benar-benar istimewa sebagai calon pelayar. Bahkan untuk bidang studi nautika, angkatannya menjadi angkatan pertama yang menerima taruna perempuan.
Menuntut ilmu di lingkungan lelaki
memang tak mudah. Latihan fisik dan mental sudah jadi kebiasaan. Hukuman
tak segan-segan dilamatkan kepada yang salah dan lalai. Juga kepada
perempuan. Entin bercerita kalau dulu harus benar-benar prima menjaga
kesehatan. “Masak jadi nakhoda mau masuk angin terus? Namanya pendidikan
nakhoda beda sama kuliah ekonomi, yang orangnya halus-halus,”
katanya. Setelah generasi Entin, sekarang sudah banyak nakhoda
perempuan. Dan kebanyakan dari mereka berumah tangga dengan baik. Ini
yang sering ditekankan Entin. Tapi itu tak berarti menafikan kemungkinan
godaan.
Bagi Entin, cantik sendiri di kapal di
tengah samudera bisa jadi kebanggan sekaligus kejatuhan. Dalam
pengalamannya para awak pria banyak yang merayu dan memanjakan. Tapi
Entin kerap berlaku profesional, selagi tidak mudah dipermainkan, mereka
pun tak jadi berbuat macam-macam. Karena sikap profesional itu pula
yang membuat kru kapal menumbuhkan rasa senasib sepenanggungan. Batang
geriginya terlihat menyeringai tertawa ketika kami menanyainya tentang
kecemburuan suaminya. Dia bilang, “Saya juga kepingin dicemburui tapi
sayangnya saya nggak pernah bisa.” Menirukan suaminya, Entin lalu bilang
bahwa suaminya sangat memercayainya. Perihal godaan ini memang bisa
menjadi momok bagi pelayar perempuan.
Ibu Tak DikenalSaat bertemu di sebuah siang di kampus ungu STIMAR AMI di kawasan Pulomas, perempuan 63 tahun ini berpakaian rapi dengan blazer putih, celana biru tua yang cocok dengan kerudungnya. Kacamatanya bergagang hitam dengan polesan rias yang tipis; sekadar bedak, pemulas bibir, dan alis yang ditata rapi. Pensiun tak membelenggu kakinya untuk aktif mengajar. Belum lagi jika ada proyek insidental. Saat ini, Entin menjadi salah satu tim RSO, Recognize Security Organization, dari Pelni. Tim ini bertugas memeriksa dan melakukan penilaian terhadap kapal-kapal agar mendapatkan ISPS Code, yaitu sejenis sertifikat yang harus dimiliki kapal agar bisa keluar masuk pelabuhan-pelabuhan internasional.
Untuk tugas ini memang kebanyakan
dilakukan di pelabuhan, tapi bukan tak mungkin harus ikut kapal yang
sedang dalam proses sertifikasi. Terakhir beberapa bulan lalu, Entin
ikut berlayar ke Manado sebagai konsultan ISPS Code. Pelni masih sering
menghubunginya untuk urusan seperti ini. “Mungkin Pelni kasihan melihat
saya,” tawanya kembali terdengar. Dan kini dia terkenang ingin berlayar
kembali. Dulu, berlayar beberapa lama berarti tak hanya meninggalkan
suami, tei juga putera-puteri tercinta. Dalam penggalan hidupnya sebagai
pelayar, terkadang ketika pulang berlayar hingga berbulan-bulan si buah
hati tak lagi mengenal ibunya. Dia bersedih. Saat ingin berlayar
kembali, anak-anak yang dulu kecil itu dipercayakan kepada neneknya,
karena ibunya sudah lama tiada. Itu yang kemudian dia betah meneruskan
kariernya di darat sebagai bagian personalia Pelni.
Setelah melewati tahap-tahap pelayaran
yang diharuskan dan mendapat ijazah mualim paling tinggi, cukuplah
baginya. Mengingat anak-anaknya menunggu di rumah, kegiatan pelayaran
ditinggalkan sampai usia anak pertamanya delapan tahun. Jumlah kapal
yang pernah dibawanya sebanyak delapan buah. Awak terbanyak yang pernah
dipimpinnya sebanyak delapan puluh orang. Adakah anak yang mengikuti
jejak ibunya? “Kebetulan nggak, mungkin nggak suka atau karena merasa
dulu suka ditinggal,” lalu dia tertawa lagi.
Meredakan Badai dengan Kue DonatKalau dulu di laut, memasak menjadi pilihan favorit Entin. Tak jarang dia bersama krunya membawa bumbu-bumbu dapur agar bisa membuat sambal dan sayur asam plus ikan asin goreng. Alasannya, lama-kelamaan masakan koki membosankan. Kalau dulu di laut, memasak menjadi pilihan favorit Entin. Tak jarang dia bersama krunya membawa bumbu-bumbu dapur agar bisa membuat sambal dan sayur asam plus ikan asin goreng. Alasannya, lama-kelamaan masakan koki membosankan.
Suatu kali, Entin berkisah, ada pelaut
dari Jerman yang ikut berlayar. Entin membikin gado-gado. “Very
delicious and very very fantastic,” komentarnya si bule. Setelah
beberapa sendok, wajahnya seperti kebakaran. Tak lama kemudian
berteriak, “poison, poison.” Pleaut asing itu kepedasan dan membuat mual
perutnya. Entin tertawa mengingat kenangan itu. Saking getol memasak,
koki kapal bilang kepadanya, “Capt, jangan ke dapur melulu, masakan saya
jadi nggak laku.” Namun kini memasak tak lagi dilakoninya. Terlebih
setelah hidup hanya berdua bersama suami. Anak-anaknya kini sudah besar.
Babak kehidupan yang paling seru baginya tentu saja saat bergelut
sebagai nakhoda. Ya, nakhoda perempuan pertama yang ia banggakan hingga
kini. Tak mudah meraihnya lagi. Turun ke laut lepas, hingga
berbulan-bulan. Tak ada yang bisa menjamin semuanya akan aman dan
selamat. Lautan luas bisa saja menjadi ganas. Apalagi saat badai
mengusik samudera, nakhoda harus siap siaga. Jika memang keadaan tak
memungkinkan, bukan tak mungkin kapal akan kemblai berbalik arah, jika
fenomena alam itu terlalu kuat untuk dilawan. “Kalau terjebak di pusat
badai, contohnya di laut Cina Selatan, yah baru nggak bisa ngelak,”
tuturnya dengan nanar mata teduh.
sangat menginspirasi......
BalasHapusjales veva jaya mahe